Polisi
(cinta di hidupku)
Satu
Jalanan tampak begitu lengang. Aku menurunkan kaca mobil, angin menyebabkan rambutku berantakan. Pohon-pohon yang berjejer
di pinggir jalan terlihat begitu menyegarkan, aku sangat menikmati ini. Begitu
tenang dan hijau. Aku tersenyum sambil menopangkan daguku pada tanganku yang
kusejajarkan dengan jendela mobil. Semakin lama angin terasa semakin kencang,
kututup kembali jendela mobil. Aku merapikan rambut panjangku yang sudah
terlanjur berantakan. Om Rama yang sedang mengendarai mobil di depan hanya
tersenyum melihat tingkahku lewat
kaca. Aku tak menggubrisnya.
Hari ini aku pergi ke Lampung untuk daftar ulang mahasiswa baru disana. Dan
Ayah mempercayakan Om Rama untuk mengantarku sampai tujuan, yaitu rumah tante,
lebih tepatnya tante jauhku. Rumahnya sudah lama tak ditempati. Mungkin bisa
dibilang kebetulan, orang yang tadinya mau mengontrak rumah itu, membatalkan
kontraknya, dan ‘tante itu’ mengizinkan aku tinggal disana, sekalian
menyediakan seorang pembantu yang akan mengurusku.
Tiba-tiba om Rama menghentikan mobil, dan kulihat kami sudah memasuki kota. Ternyata ada pemeriksaan kendaraan. Om Rama langsung keluar mobil sambil
mengeluarkan surat-surat. Dan aku menunggu di mobil.
“Huh. Polisi.” Dengusku. “Ada apa lagi sih ?” Aku agak kesal. Aku memang
membenci polisi. Bukan. Bukan. Bukan. Aku sangat membenci polisi.
***
Waktu itu, umurku masih 8 tahun. Aku bermain dengan anjing pudel berbulu
putih milikku di depan rumah. Anjing itu hadiah ulang tahun dari Ayah. Entah
sedang mengejar apa, Manis, panggilanku pada anjingku, berlari ke tengah jalan.
Dan tiba-tiba, sebuah mobil menabrak Manis. Aku sangat terkejut dan hanya
terpaku di jalan setapak rumahku melihat kejadian itu. Kulihat bulu Manis yang
putih bersih, kini telah menjadi merah.
Mobil yang menabrak Manis berhenti beberapa meter dari tempat kejadian.
Seorang polisi yang seumuran Ayah keluar dari mobil menuju arah Manis, setelah
sebelumnya melihat kearahku yang masih tidak bisa melakukan apa-apa. Dia
menghampiri Manis, mengamati, dan menyingkirkan Manis yang berlumuran darah
dari jalan dengan kakinya. Dia kembali melihatku dan aku mulai meneteskan air
mataku. Dia kemudian masuk ke mobilnya tanpa berkata apapun.
Aku berlari ke dalam rumah sambil menangis tersedu-sedu.
“Bundaaa.” Isakku ketika aku sampai di dapur menemui Bunda yang sedang
masak. Bunda langsung menoleh ke arahku.
“Dee kenapa, sayang ?” Tanya bunda tenang
sambil membungkuk mengelap air
mataku.
“Itu…. Itu…..” Aku tak bisa menemukan kata-kataku.
“Kenapa ?” Tanya bunda lagi. Aku menangis sejadi-jadinya dipelukan Bunda.
“Udahlah.” Seru ayah dari belakang. “Besok Ayah beli lagi Manis yang lain
buat Dee, jadi jangan nangis lagi ya.” Lanjut Ayah.
Ternyata Ayah dari tadi telah mendengar ceritaku pada Bunda. Akupun hanya
mengangguk mengiyakan perkataan Ayah sambil melepas pelukan dari Bunda. “Nah,
gitu dong, baru namanya anak Ayah.” Ayah mengelus kepalaku. “Ayo, keluar. Kasian Manis kalo ga kita kubur.” Ayah
berjalan keluar dan aku mengikutinya dari belakang. Mendadak Ayah membalikkan
badan dan berkata “O ya, panggil adikmu sekalian ya”
Aku memandangi kuburan Manis
yang kubuat bersama Ayah dan adikku.
“Dee benci polisi.”
“Kenapa ?” Ayah terlihat terkejut tapi
tetap tenang.
“Gara-gara polisi Manis ga ada lagi” Jawabku polos.
***
Dua tahun kemudian, Asta, adikku hilang sepulang dari sekolah. Ayah
melaporkan kejadian ini ke kantor polisi, sementara bunda hanya menangis di
rumah. Setelah seminggu mencari tidak ada hasil, polisi memutuskan menghentikan
pencarian tanpa alasan yang jelas. Meski sudah didesak Ayah agar tetap mencari,
namun polisi tetap tidak mau melakukannya. Bunda sangat terpukul dan jatuh
sakit, tidak ada obat yang mau
diminum dan diinginkannya kecuali anak laki-lakinya kembali, selang beberapa hari Bunda
meninggalkan kami untuk selamanya.
Kesedihan kami tak berakhir disini. Warga menemukan mayat anak laki-laki 7
tahun mengapung dan sudah
membusuk di pinggir sungai yang
akhirnya diidentifikasi sebagai Asta. Aku
melihat Ayah begitu tegar dengan semua ini, tapi aku tahu Ayah jauh lebih sedih
dibandingkan aku.
Sejak saat itu aku tidak pernah ingin bertemu dengan polisi. Jika aku
melihat polisi dari jauh yang akan berjalan mendekatiku, aku akan mencari
tempat aman dimana aku tidak akan berpas-pasan jalan dengannya.
Polisi benar-benar telah menghancurkan kebahagiaan masa kecilku. Aku benci
polisi. Aku benci polisi selamanya.
***
“Maaf, nona Dinga.” Seseorang mengetuk kaca mobil dan membuyarkan ingatan
masa kecilku. Aku menoleh melihat keluar kaca mobil. Seorang polisi berkacamata
hitam berdiri disana. Umurnya kuperkirakan 23 tahun. Akupun menurunkan kaca
mobil.
“Mengganggu perjalanan anda, hanya sedikit pemeriksaan” Lanjutnya. Aku
tidak menggubrisnya.
‘Sok akrab banget ne
polisi.’
“Nona Dinga,” Panggilnya lagi. “Anda mendengar saya ?” Tanyanya lagi
padaku. Aku membuang muka darinya. Tapi kemudian aku kembali menoleh.
“Tau dari mana nama gua ?” Tanyaku agak ketus. Dia terlihat terkejut dengan
pertanyaanku.
“Ooooh itu,” dia melihat ke arah tas yang ada di pangkuanku, akupun
mengikuti pandangannya. “Dari tas anda.” Sambungnya.
“Hmmmm”
Tas ini adalah peninggalan terakhir Bunda untukku. Bunda menyulam sendiri
namaku disana. Awalnya aku ingin Bunda menyulam DEE, tapi kata bunda DINGA
terdengar lebih misterius.
Om Rama terlihat menuju arah mobil dan tersenyum kepada polisi yang masih
berdiri di samping mobil kami.
“Terima kasih, Pak. Kami sudah siap.” Ucap Om Rama. Polisi itu hanya
tersenyum. “Siap berangkat, Dee ?” Lanjut Om Rama padaku. Aku mengangguk.
“Dee ?!” Terlihat ekspresi heran polisi itu. Om Rama yang sudah mau membuka
pintu mobil, mengurungkan niatnya.
“Oooh. Itu panggilan keponakan saya ini,” terang Om Rama sambil pandangan
matanya mengarah padaku.
“Om !!” Berangku tak suka.
“Namanya Dinga (:dengan pelafalan Din dan Ga terpisah ).”
“Om !!” Bentakku lagi. Aku tidak suka Om Rama menjelaskan perihal namaku
pada orang asing, apalagi ini adalah seorang polisi.
“Dingga ?!” Ucap polisi berbarengan dengan suara protesku. Dia terlihat
semakin tidak mengerti.
‘Tapi kenapa dia begitu
penasaran ?’ Tanyaku dalam
hati.
“Tapi saya lihat di tas itu (menunjuk tasku), namanya Dinga (:pelafalan
biasa).” Lanjutnya lagi.
“Tulisannya emang Dinga, tapi dilafalkan dengan memisahkan Din dan Ga, jadi
kedengaran seperti Dingga.” Terang Om Rama lagi. Aku hanya terdiam mendengar
pembicaraan mereka. ”Semua orang suka keliru waktu pertama kali melihat nama
itu.” Sambung Om Rama lagi yang membuat polisi itu hanya terdiam menyimak. “O
ya, kami akan melanjutkan perjalanan kami. Permisi, Pak.” Om Rama membuka pintu
mobil. Polisi itupun pamit.
Mengenai namaku. Nama lengkapku adalah DINGA KARIZBI IHRA, yang kata Ayah artinya
kira-kira adalah malaikat kecil yang karismatik yang dianugrahkan Tuhan. Sejak
masuk sekolah dasar, semua bermasalah dengan pengucapan namaku. Dimana ‘Dinga’
yang hanya memiliki satu G, terdengar seolah-olah punya dua G saat diucapkan.
Kata Ayah lagi pelafalan namaku sama dengan pelafalan kata dalam bahasa Amerika
Latin. Aku bangga punya nama seperti ini. Seperti membawa teka-teki dimanapun
aku berada.
***
Kami sampai di rumah sekitar jam 2 sore, setelah menempuh perjalanan 5 jam
lebih. Om Rama langsung pergi karena dia ada urusan yang harus diselesaikan di
Jogja, jadi dia melanjutkan perjalanannya. Dan aku ‘dititipkan’ ke pembantu
yang ternyata sudah tinggal disini selama seminggu untuk beres-beres. Sebelum
pergi, Om Rama mengatakan sesuatu yang membuatku jengkel.
Rumahnya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampungku dan seorang
pembantu. Ada tiga kamar di rumah ini, yaitu kamar utama, kamar tamu yang
akhirnya kuputuskan menjadi kamarku karena letaknya di bagian depan rumah, dan
juga ada kamar pembantu di bagian belakang rumah. Dan masih ada ruang tamu dan
ruang keluarga. Cukup nyaman.
Aku masuk ke kamar dan langsung merebahkan tubuhku ke tempat tidur. Bertemu
dengan polisi membuatku merasa sangat lelah.
“Gua
benci polisiiiiiiiiiiii.” Teriakku kencang.
***
(bersambung...)
P.S :: Novel ne sebenernya mulai dibuat taun 2009, n lum semuanya selese aku tulis.
Tapi jalan cerita dah terpampang jelas di otakku. Aku yakin bisa nyeleseinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar