Salam

Assalamu'alaikum
Terima kasih sudah berkunjung ke blog yang bisa dibilang jauuuuh dari kata sederhana ini.
Jangan kapok untuk sering-sering berkunjung.

11.25.2012

Polisi [Part 1] by Rainy Cristefo Valenta





Polisi

(cinta di hidupku)







Satu


Jalanan tampak begitu lengang. Aku menurunkan kaca mobil, angin menyebabkan rambutku berantakan. Pohon-pohon yang berjejer di pinggir jalan terlihat begitu menyegarkan, aku sangat menikmati ini. Begitu tenang dan hijau. Aku tersenyum sambil menopangkan daguku pada tanganku yang kusejajarkan dengan jendela mobil. Semakin lama angin terasa semakin kencang, kututup kembali jendela mobil. Aku merapikan rambut panjangku yang sudah terlanjur berantakan. Om Rama yang sedang mengendarai mobil di depan hanya tersenyum melihat tingkahku lewat kaca. Aku tak menggubrisnya.

Hari ini aku pergi ke Lampung untuk daftar ulang mahasiswa baru disana. Dan Ayah mempercayakan Om Rama untuk mengantarku sampai tujuan, yaitu rumah tante, lebih tepatnya tante jauhku. Rumahnya sudah lama tak ditempati. Mungkin bisa dibilang kebetulan, orang yang tadinya mau mengontrak rumah itu, membatalkan kontraknya, dan ‘tante itu’ mengizinkan aku tinggal disana, sekalian menyediakan seorang pembantu yang akan mengurusku.

Tiba-tiba om Rama menghentikan mobil, dan kulihat kami sudah memasuki kota. Ternyata ada pemeriksaan kendaraan. Om Rama langsung keluar mobil sambil mengeluarkan surat-surat. Dan aku menunggu di mobil.

“Huh. Polisi.” Dengusku. “Ada apa lagi sih ?” Aku agak kesal. Aku memang membenci polisi. Bukan. Bukan. Bukan. Aku sangat membenci polisi.

***

Waktu itu, umurku masih 8 tahun. Aku bermain dengan anjing pudel berbulu putih milikku di depan rumah. Anjing itu hadiah ulang tahun dari Ayah. Entah sedang mengejar apa, Manis, panggilanku pada anjingku, berlari ke tengah jalan. Dan tiba-tiba, sebuah mobil menabrak Manis. Aku sangat terkejut dan hanya terpaku di jalan setapak rumahku melihat kejadian itu. Kulihat bulu Manis yang putih bersih, kini telah menjadi merah.

Mobil yang menabrak Manis berhenti beberapa meter dari tempat kejadian. Seorang polisi yang seumuran Ayah keluar dari mobil menuju arah Manis, setelah sebelumnya melihat kearahku yang masih tidak bisa melakukan apa-apa. Dia menghampiri Manis, mengamati, dan menyingkirkan Manis yang berlumuran darah dari jalan dengan kakinya. Dia kembali melihatku dan aku mulai meneteskan air mataku. Dia kemudian masuk ke mobilnya tanpa berkata apapun.

Aku berlari ke dalam rumah sambil menangis tersedu-sedu.

“Bundaaa.” Isakku ketika aku sampai di dapur menemui Bunda yang sedang masak. Bunda langsung menoleh ke arahku.
“Dee kenapa, sayang ?” Tanya bunda tenang sambil membungkuk mengelap air mataku.
“Itu…. Itu…..” Aku tak bisa menemukan kata-kataku.
“Kenapa ?” Tanya bunda lagi. Aku menangis sejadi-jadinya dipelukan Bunda.
“Udahlah.” Seru ayah dari belakang. “Besok Ayah beli lagi Manis yang lain buat Dee, jadi jangan nangis lagi ya.” Lanjut Ayah. Ternyata Ayah dari tadi telah mendengar ceritaku pada Bunda. Akupun hanya mengangguk mengiyakan perkataan Ayah sambil melepas pelukan dari Bunda. “Nah, gitu dong, baru namanya anak Ayah.” Ayah mengelus kepalaku. “Ayo, keluar. Kasian Manis kalo ga kita kubur.” Ayah berjalan keluar dan aku mengikutinya dari belakang. Mendadak Ayah membalikkan badan dan berkata “O ya, panggil adikmu sekalian ya”

Aku memandangi kuburan Manis yang kubuat bersama Ayah dan adikku.

“Dee benci polisi.”
“Kenapa ?” Ayah terlihat terkejut tapi tetap tenang.
“Gara-gara polisi Manis ga ada lagi” Jawabku polos.

***

Dua tahun kemudian, Asta, adikku hilang sepulang dari sekolah. Ayah melaporkan kejadian ini ke kantor polisi, sementara bunda hanya menangis di rumah. Setelah seminggu mencari tidak ada hasil, polisi memutuskan menghentikan pencarian tanpa alasan yang jelas. Meski sudah didesak Ayah agar tetap mencari, namun polisi tetap tidak mau melakukannya. Bunda sangat terpukul dan jatuh sakit, tidak ada obat yang mau diminum dan diinginkannya kecuali anak laki-lakinya kembali, selang beberapa hari Bunda meninggalkan kami untuk selamanya.

Kesedihan kami tak berakhir disini. Warga menemukan mayat anak laki-laki 7 tahun mengapung dan sudah membusuk di pinggir sungai yang akhirnya diidentifikasi sebagai Asta. Aku melihat Ayah begitu tegar dengan semua ini, tapi aku tahu Ayah jauh lebih sedih dibandingkan aku.

Sejak saat itu aku tidak pernah ingin bertemu dengan polisi. Jika aku melihat polisi dari jauh yang akan berjalan mendekatiku, aku akan mencari tempat aman dimana aku tidak akan berpas-pasan jalan dengannya.

Polisi benar-benar telah menghancurkan kebahagiaan masa kecilku. Aku benci polisi. Aku benci polisi selamanya.

***
“Maaf, nona Dinga.” Seseorang mengetuk kaca mobil dan membuyarkan ingatan masa kecilku. Aku menoleh melihat keluar kaca mobil. Seorang polisi berkacamata hitam berdiri disana. Umurnya kuperkirakan 23 tahun. Akupun menurunkan kaca mobil.
“Mengganggu perjalanan anda, hanya sedikit pemeriksaan” Lanjutnya. Aku tidak menggubrisnya.
Sok akrab banget ne polisi.
“Nona Dinga,” Panggilnya lagi. “Anda mendengar saya ?” Tanyanya lagi padaku. Aku membuang muka darinya. Tapi kemudian aku kembali menoleh.
“Tau dari mana nama gua ?” Tanyaku agak ketus. Dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku.
“Ooooh itu,” dia melihat ke arah tas yang ada di pangkuanku, akupun mengikuti pandangannya. “Dari tas anda.” Sambungnya.
“Hmmmm”

Tas ini adalah peninggalan terakhir Bunda untukku. Bunda menyulam sendiri namaku disana. Awalnya aku ingin Bunda menyulam DEE, tapi kata bunda DINGA terdengar lebih misterius.

Om Rama terlihat menuju arah mobil dan tersenyum kepada polisi yang masih berdiri di samping mobil kami.

“Terima kasih, Pak. Kami sudah siap.” Ucap Om Rama. Polisi itu hanya tersenyum. “Siap berangkat, Dee ?” Lanjut Om Rama padaku. Aku mengangguk.
“Dee ?!” Terlihat ekspresi heran polisi itu. Om Rama yang sudah mau membuka pintu mobil, mengurungkan niatnya.
“Oooh. Itu panggilan keponakan saya ini,” terang Om Rama sambil pandangan matanya mengarah padaku.
“Om !!” Berangku tak suka.
“Namanya Dinga (:dengan pelafalan Din dan Ga terpisah ).”
“Om !!” Bentakku lagi. Aku tidak suka Om Rama menjelaskan perihal namaku pada orang asing, apalagi ini adalah seorang polisi.
“Dingga ?!” Ucap polisi berbarengan dengan suara protesku. Dia terlihat semakin tidak mengerti.
Tapi kenapa dia begitu penasaran ? Tanyaku dalam hati.
“Tapi saya lihat di tas itu (menunjuk tasku), namanya Dinga (:pelafalan biasa).” Lanjutnya lagi.
“Tulisannya emang Dinga, tapi dilafalkan dengan memisahkan Din dan Ga, jadi kedengaran seperti Dingga.” Terang Om Rama lagi. Aku hanya terdiam mendengar pembicaraan mereka. ”Semua orang suka keliru waktu pertama kali melihat nama itu.” Sambung Om Rama lagi yang membuat polisi itu hanya terdiam menyimak. “O ya, kami akan melanjutkan perjalanan kami. Permisi, Pak.” Om Rama membuka pintu mobil. Polisi itupun pamit.
                                                                           
Mengenai namaku. Nama lengkapku adalah DINGA KARIZBI IHRA, yang kata Ayah artinya kira-kira adalah malaikat kecil yang karismatik yang dianugrahkan Tuhan. Sejak masuk sekolah dasar, semua bermasalah dengan pengucapan namaku. Dimana ‘Dinga’ yang hanya memiliki satu G, terdengar seolah-olah punya dua G saat diucapkan. Kata Ayah lagi pelafalan namaku sama dengan pelafalan kata dalam bahasa Amerika Latin. Aku bangga punya nama seperti ini. Seperti membawa teka-teki dimanapun aku berada.

***

Kami sampai di rumah sekitar jam 2 sore, setelah menempuh perjalanan 5 jam lebih. Om Rama langsung pergi karena dia ada urusan yang harus diselesaikan di Jogja, jadi dia melanjutkan perjalanannya. Dan aku ‘dititipkan’ ke pembantu yang ternyata sudah tinggal disini selama seminggu untuk beres-beres. Sebelum pergi, Om Rama mengatakan sesuatu yang membuatku jengkel.

Rumahnya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampungku dan seorang pembantu. Ada tiga kamar di rumah ini, yaitu kamar utama, kamar tamu yang akhirnya kuputuskan menjadi kamarku karena letaknya di bagian depan rumah, dan juga ada kamar pembantu di bagian belakang rumah. Dan masih ada ruang tamu dan ruang keluarga. Cukup nyaman.

Aku masuk ke kamar dan langsung merebahkan tubuhku ke tempat tidur. Bertemu dengan polisi membuatku merasa sangat lelah.

“Gua benci polisiiiiiiiiiiii.” Teriakku kencang.

***
(bersambung...)



P.S :: Novel ne sebenernya mulai dibuat taun 2009, n lum semuanya selese aku tulis. Tapi jalan cerita dah terpampang jelas di otakku.  Aku yakin bisa nyeleseinnya.

Tidak ada komentar: