Salam

Assalamu'alaikum
Terima kasih sudah berkunjung ke blog yang bisa dibilang jauuuuh dari kata sederhana ini.
Jangan kapok untuk sering-sering berkunjung.

12.10.2012

Polisi [Part 4] by Rainy Cristefo Valenta


Empat

Sore itu, aku sedang duduk santai di depan rumah bersama Syikla. Ketika sedang asyik bercanda, Tito datang dengan motornya yang segede motor Prim.

“Ngapain lo kesini ?” Tanyaku heran setelah menghampirinya. “Emang ada apaan ?” Aku masih penasaran dengan kedatangan Tito.
“Tibok yang laen dah pada datang blon ?” Tanya Tito tanpa menggubris pertanyaanku.
Aku menggeleng.

Tibok adalah panggilan untuk kami semua –aku, Lian, Hati, dan juga Tito– yang merupakan singkatan dari TIKUS MABOK.

“Kita belajar bareng, Oon !” Tito tertawa sambil mengacak-acak rambutku.
“Iya ya ? Hehe sori. Lupa.” Aku tertawa dengan gaya kekanak-kanakkanku seperti biasa.
“Ga lo ajak masuk Kak Titonya ?” Teriak Syikla yang dari tadi masih duduk di tempatnya. Aku menoleh ke belakang melihat Syikla dan langsung tertawa.
“Oh iya,” aku memukul jidatku “yuk masuk.” Ajakku pada Tito yang belum juga turun dari motornya.
“Kok adik lo manggil gua Tito ?” Bisik Tito yang berjalan di depanku. Aku tidak terbiasa berjalan di depan.
“Dia sering denger gua cerita. Jadi dia tau kalo gua manggil lo Tito.” Terangku juga dengan berbisik.
“Wuissss. Terkenal dong gua.” Diapun terkekeh
“Cih ! Narsis !”

Tak lama kemudian Hati dan Lian datang. Kamipun langsung belajar bersama. Tak tahu sejak kapan ternyata Prim sudah pulang dari kerja dan duduk bersama kami. Dia menawarkan diri mengajarkan kami.
“Boleh tu, Kak.” Hati dan Lian sangat antusias.
“Emang bisa ?!” Kataku meremehkan. Tito langsung mendorong kepalaku, mungkin dia berniat supaya aku tidak berkata demikian. Dan posisinya memang pas untuk melakukan itu, karena dia duduk di sofa sedangkan aku duduk di lantai di depan Tito.
“Walopun berbahasa Inggris, tapi aku bisa lho dikit-dikit.” Jawab Prim.
“Ya udah kalo gitu, bantuin kita ya.” Ujar Lian sok manja.
“Petir !” Bentakku pada Lian.

Aku memang lebih suka memanggil Lian dengan sebutan Petir. Petir merupakan potongan nama Lian yaitu Samian Petirlianda. Menurut cerita dari mamanya, Lian lahir pas lagi hujan petir. Jadi, untuk mengingat momen kelahiran Lian sengaja ditambahkan ‘petir’ dalam namanya.
“Lo kesambet ya, Dee ? Ngomong kok teriak-teriak.” Tito mencoba menyindirku.

Sebuah buku yang sejak tadi aku pegang melayang ke kepala Tito.

“Aduh ! Sakit tau.” Aku tersenyum mengejek melihat Tito menggosok-gosok kepalanya.

***

Malam harinya, mereka bertiga pamit pulang. Aku dan Syikla mengantar mereka ke depan. Hati dan Lian pulang dijemput papa Hati yang sudah menunggu mereka dari tadi. Titopun siap berangkat dengan men-starter motornya.

“Hati-hati di jalan ya, Kak.” Ucap Syikla dengan manisnya pada Tito. “Tar kalo udah nyampe rumah kasih tau Kakak ya.” Sambungnya lagi dengan seenaknya.
“Ya Allah.” Teriakku. Aku tidak menyangka Syikla akan berkata seperti itu. “Ni anak mulutnya perlu dijait ni.” Aku menunjuk mulut Syikla.
“Siiiiip.” Tito merespon perkataan Syikla. “Tar gua SMS lo ya.” Tito membalikkan arah motornya. “Assalamu’alaikum.”
“’Alaikumsalam.”

Itulah hal yang selalu kusukai dari Tito dia tak pernah lupa mengucap salam sebelum dia pergi.

“Makan di luar yuk, Kak.” Ajak Syikla ketika kami sudah di dalam rumah.
“Ngapain makan di luar ? Mbak Ina khan udah capek-capek masak.”
“Mbak Ina ga masak.”
“Kok ?!” Aku bingung.
“Iya.” Jawab Syikla sambil duduk. “Gua suruh aja mbak Ina masak makan malam buat dia doang tadi.”
“Jadi ?” Aku masih membutuhkan penjelasan.
“Yaaa kita betiga pegi makan bareng di luar.” Dia tersenyum meminta persetujuan. “Gua udah kangen makan nasi goreng Bude yang super enak itu.”
“Ho ho ho. Jadi begitu toh ceritanya. Ya ya ya.” Aku manggut-manggut. “Trus peginya gimana ? Kita kan ga punya kendaraan.” Aku membuat alasan agar kami tidak pergi makan di luar karena aku malas harus berbarengan dengan Prim.
“Kan ada taksi. Udah gua pesen kok.” Syikla memenangkan adu argumen.
“Oke.” Kataku sambil menghela napas. “Lo bilang gih ama Prim. Gua siap-siap dulu.”

Aku duduk bersebelahan dengan Prim dan Syikla duduk berhadapan denganku. Karena Syikla selalu beralasan ‘ga bisa makan kalo ga ngeliat muka lo.’.
Kami sedang menunggu pesanan nasi goreng kami.
“Kita dah kaya keluarga ya.” Syikla mulai berbicara aneh lagi. Aku langsung memelototkan mataku padanya.
“Maksudnya apa, Kla.” Prim ternyata terpancing dengan kata-kata Syikla.
“Kita kaya keluarga, Kakak jadi ibunya terus Kak Prim jadi ayahnya dan aku jadi anaknya. Pas kan ?” Jelas Syikla seperti orang mau terbang. Dia tersenyum dengan bahagianya.
“Woi, Odong !” Bentakku. “Malu kali diliat orang-orang.” Aku melihat ke sekeliling kami, untungnya tak ada yang memperhatikan kami.

Pesanan kami akhirnya datang.
“Ayo disantap.” Kata Syikla antusias sekali ketika memegang sendok dan garpu.

Hampir saja aku ingin mengangkat tanganku untuk menahan suapan Syikla. Tapi belum sampai tanganku di atas meja Prim sudah menggenggam tanganku. Aku kaget bukan main. Dan tiba-tiba dadaku berdetak lebih kencang dan aku langsung menarik tanganku dari genggaman Prim.

“Makan ga boleh ribut. Ayo makan aja.” Kataku pada Syikla setelah menenangkan hatiku.
“Ya, ayo kita santap.” Tambah Prim. “ Minta sayurannya dong, Kla.”
“Yeee, minta aja sono ama Kakak.”
“????” Aku melirik adikku tak mengerti
“Ga jadi deh.” Kata Prim sambil tertawa.

***

Tidak ada komentar: