Empat
Sore itu,
aku sedang duduk santai di depan rumah bersama Syikla. Ketika sedang asyik
bercanda, Tito datang dengan motornya yang segede motor Prim.
“Ngapain
lo kesini ?” Tanyaku heran setelah menghampirinya. “Emang ada apaan ?” Aku
masih penasaran dengan kedatangan Tito.
“Tibok
yang laen dah pada datang blon ?” Tanya Tito tanpa menggubris pertanyaanku.
Aku
menggeleng.
Tibok
adalah panggilan untuk kami semua –aku, Lian, Hati, dan juga Tito– yang
merupakan singkatan dari TIKUS MABOK.
“Kita
belajar bareng, Oon !” Tito tertawa sambil mengacak-acak rambutku.
“Iya ya ?
Hehe sori. Lupa.” Aku tertawa dengan gaya kekanak-kanakkanku seperti biasa.
“Ga lo
ajak masuk Kak Titonya ?” Teriak Syikla yang dari tadi masih duduk di
tempatnya. Aku menoleh ke belakang melihat Syikla dan langsung tertawa.
“Oh iya,”
aku memukul jidatku “yuk masuk.” Ajakku pada Tito yang belum juga turun dari
motornya.
“Kok adik
lo manggil gua Tito ?” Bisik Tito yang berjalan di depanku. Aku tidak terbiasa
berjalan di depan.
“Dia
sering denger gua cerita. Jadi dia tau kalo gua manggil lo Tito.” Terangku juga
dengan berbisik.
“Wuissss.
Terkenal dong gua.” Diapun terkekeh
“Cih !
Narsis !”
Tak lama
kemudian Hati dan Lian datang. Kamipun langsung belajar bersama. Tak tahu sejak
kapan ternyata Prim sudah pulang dari kerja dan duduk bersama kami. Dia menawarkan
diri mengajarkan kami.
“Boleh
tu, Kak.” Hati dan Lian sangat antusias.
“Emang
bisa ?!” Kataku meremehkan. Tito langsung mendorong kepalaku, mungkin dia
berniat supaya aku tidak berkata demikian. Dan posisinya memang pas untuk
melakukan itu, karena dia duduk di sofa sedangkan aku duduk di lantai di depan
Tito.
“Walopun
berbahasa Inggris, tapi aku bisa lho dikit-dikit.” Jawab Prim.
“Ya udah
kalo gitu, bantuin kita ya.” Ujar Lian sok manja.
“Petir !”
Bentakku pada Lian.
Aku
memang lebih suka memanggil Lian dengan sebutan Petir. Petir merupakan potongan
nama Lian yaitu Samian Petirlianda. Menurut cerita dari mamanya, Lian lahir pas
lagi hujan petir. Jadi, untuk mengingat momen kelahiran Lian sengaja ditambahkan
‘petir’ dalam namanya.
“Lo
kesambet ya, Dee ? Ngomong kok teriak-teriak.” Tito mencoba menyindirku.
Sebuah
buku yang sejak tadi aku pegang melayang ke kepala Tito.
“Aduh !
Sakit tau.” Aku tersenyum mengejek melihat Tito menggosok-gosok kepalanya.
***
Malam
harinya, mereka bertiga pamit pulang. Aku dan Syikla mengantar mereka ke depan.
Hati dan Lian pulang dijemput papa Hati yang sudah menunggu mereka dari tadi.
Titopun siap berangkat dengan men-starter motornya.
“Hati-hati
di jalan ya, Kak.” Ucap Syikla dengan manisnya pada Tito. “Tar kalo udah nyampe
rumah kasih tau Kakak ya.” Sambungnya lagi dengan seenaknya.
“Ya
Allah.” Teriakku. Aku tidak menyangka Syikla akan berkata seperti itu. “Ni anak
mulutnya perlu dijait ni.” Aku menunjuk mulut Syikla.
“Siiiiip.”
Tito merespon perkataan Syikla. “Tar gua SMS lo ya.” Tito membalikkan arah
motornya. “Assalamu’alaikum.”
“’Alaikumsalam.”
“’Alaikumsalam.”
Itulah
hal yang selalu kusukai dari Tito dia tak pernah lupa mengucap salam sebelum
dia pergi.
“Makan di
luar yuk, Kak.” Ajak Syikla ketika kami sudah di dalam rumah.
“Ngapain
makan di luar ? Mbak Ina khan udah capek-capek masak.”
“Mbak Ina
ga masak.”
“Kok ?!”
Aku bingung.
“Iya.”
Jawab Syikla sambil duduk. “Gua suruh aja mbak Ina masak makan malam buat dia
doang tadi.”
“Jadi ?”
Aku masih membutuhkan penjelasan.
“Yaaa
kita betiga pegi makan bareng di luar.” Dia tersenyum meminta persetujuan. “Gua
udah kangen makan nasi goreng Bude yang super enak itu.”
“Ho ho
ho. Jadi begitu toh ceritanya. Ya ya ya.” Aku manggut-manggut. “Trus peginya
gimana ? Kita kan ga punya kendaraan.” Aku membuat alasan agar kami tidak pergi
makan di luar karena aku malas harus berbarengan dengan Prim.
“Kan ada taksi. Udah gua pesen kok.” Syikla memenangkan adu argumen.
“Kan ada taksi. Udah gua pesen kok.” Syikla memenangkan adu argumen.
“Oke.”
Kataku sambil menghela napas. “Lo bilang gih ama Prim. Gua siap-siap dulu.”
Aku duduk
bersebelahan dengan Prim dan Syikla duduk berhadapan denganku. Karena Syikla
selalu beralasan ‘ga bisa makan kalo ga
ngeliat muka lo.’.
Kami sedang
menunggu pesanan nasi goreng kami.
“Kita dah
kaya keluarga ya.” Syikla mulai berbicara aneh lagi. Aku langsung memelototkan
mataku padanya.
“Maksudnya
apa, Kla.” Prim ternyata terpancing dengan kata-kata Syikla.
“Kita
kaya keluarga, Kakak jadi ibunya terus Kak Prim jadi ayahnya dan aku jadi
anaknya. Pas kan ?” Jelas Syikla seperti orang mau terbang. Dia tersenyum dengan
bahagianya.
“Woi, Odong
!” Bentakku. “Malu kali diliat orang-orang.” Aku melihat ke sekeliling kami,
untungnya tak ada yang memperhatikan kami.
Pesanan
kami akhirnya datang.
“Ayo
disantap.” Kata Syikla antusias sekali ketika memegang sendok dan garpu.
Hampir
saja aku ingin mengangkat tanganku untuk menahan suapan Syikla. Tapi belum
sampai tanganku di atas meja Prim sudah menggenggam tanganku. Aku kaget bukan
main. Dan tiba-tiba dadaku berdetak lebih kencang dan aku langsung menarik
tanganku dari genggaman Prim.
“Makan ga
boleh ribut. Ayo makan aja.” Kataku pada Syikla setelah menenangkan hatiku.
“Ya, ayo
kita santap.” Tambah Prim. “ Minta sayurannya dong, Kla.”
“Yeee, minta aja sono ama Kakak.”
“Yeee, minta aja sono ama Kakak.”
“????”
Aku melirik adikku tak mengerti
“Ga jadi
deh.” Kata Prim sambil tertawa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar