Salam

Assalamu'alaikum
Terima kasih sudah berkunjung ke blog yang bisa dibilang jauuuuh dari kata sederhana ini.
Jangan kapok untuk sering-sering berkunjung.

12.03.2012

Polisi [Part 3] by Rainy Cristefo Valenta


Polisi

(cinta di hidupku)





Tiga

Dua tahun berlalu. Begitu banyak yang terjadi termasuk kejadian yang tak ingin kuingat lagi dan akan kukubur dalam-dalam. Semua itu hanya ingin kusimpan sendiri tanpa siapapun yang tahu.

Sekarang aku sudah punya sahabat, yaitu Hati dan Lian. Dan aku tak bisa ingat sejak kapan aku menjadi teman dekat Tito, panggilanku pada Fristo ‘sang katak’. Hati dan Lianpun kini berteman dengan Tito. Kami berempat sering belajar bersama, namun di antara semua Titolah yang sering tidak datang karena dia harus kerja part-time. Dan kadang-kadang aku yang selalu mengerjakan tugas kuliah Tito.

Karena tidak ada jadwal kuliah hari ini, aku hanya bermalas-malasan di sofa sambil membaca komik Detektif Conan. Aku sangat menyukai komik ini, jadi aku mengoleksi hampir semua serinya. Tapi ada beberapa seri yang tidak kumiliki dan sangat susah untuk dicari. Beberapa di antara seri awal komik ini kutinggalkan di kamarku di rumah kami.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku beranjak dengan enggan untuk membuka pintu karena Mbak Ina sedang memasak di dapur.

“Selamat siang.” Seorang pemuda dengan tubuh atletis dan berkacamata hitam berdiri tepat di depanku dengan senyum yang menawan.

Waw ! Keren banget ne orang.’ Teriakku dalam hati. Tapi senyumnya, sepertinya aku pernah melihat sebelum ini. Aku memikirkan tempat-tempat dimana aku pernah melihatnya sebelum ini tapi otakku buntu.

“Hai, Dee. Selamat siang.” Sapanya lagi sambil melambaikan tangan ke wajahku. Aku terkejut dan sedikit linglung ketika tersadar dari lamunanku.
“Oh ya, Mas. Ada apa ya ?” Tanyaku setelah menguasai keadaan.
“Boleh saya masuk dulu ?”

Aku mempersilahkannya masuk hanya dengan menggunakan tanganku.
“Kita ketemu lagi sekarang.” Katanya setelah duduk di sofa. Aku tidak mengerti maksudnya dan langsung membereskan komik-komik yang berserakan di meja.
“Maaf ?” Aku menoleh padanya. “Mas ini siapa ya ? Kok tau nama aku ?” Tanyaku karena tadi ketika bertemu dia langsung menyebutkan namaku. Aku masih sibuk menyusun komik di bawah meja.
“Hmm.” Dia terlihat seperti berpikir “Kamu kenal Pak Idrus kan ?”
“Maksudnya Om Idrus ?” Aku memastikan.
“Saya ini…” Mengambil napas sejenak. “Kenalkan nama saya Prim.” Dia mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. “Dan maksud saya datang kesini mau nginap sementara di rumah ini. Katanya ada kamar kosong disini.” Dia mengatakannya  sambil tersenyum.
“A..a..a..apa ?!” Aku sangat kaget, lalu duduk di sofa di depannya. “Maksud Mas ini apa ya ? Aku bener-bener ga ngerti.” Sambungku dengan nada tak percaya.
“Jangan panggil mas dong. Nama aja cukup. Kalo ga panggil kakak aja. Saya belum tua lho.” Dia tersenyum seperti sedang mempermainkanku. Sikapnya ini memberiku alasan untuk membencinya. “Maksud saya tadi…”

Pembicaraannya terpotong karena hp-ku yang dari tadi tergeletak di meja berdering. Ternyata itu telepon dari Ayah. Ayah mengatakan kalau hari ini anaknya Om Idrus mau datang dan menginap di rumah. Kebetulan tempat dia bekerja dekat dari rumah dan sekalian dia akan menjagaku. Aku sempat memprotes ayah tentang kata ‘menjaga’ itu, tapi kata ayah intinya dia sudah berjanji dengan Om Idrus bahwa anaknya bisa tinggal bersamaku. Benar-benar membuatku pusing.

“Baiklah.” Kataku menenangkan diri setelah menutup telpon.

Aku melihat ke arahnya, dia tersenyum menungguku menyelesaikan kalimatku.
“Mbak Ina !” Panggilku dengan suara keras karena sepertinya dia sudah siap memasak. Mbak Inapun langsung datang. “Tolong anterin Mas….eh….” Aku berpikir sebentar karena aku lupa namanya.
“Prim.” Katanya menyelesaikan kalimatku.
“Mari, Mas. Ikut saya.” Ajak mbak Ina.

“Belum tua apaan ?! Udah kaya bapak-bapak, juga.” Bisikku pada diri sendiri. Karena kalau di lihat dari mukanya dia seperti sudah berumur sekitar 26 tahun.

***

Pagi-pagi sekali sudah ada yang mengetuk pintu. Pasti Prim yang ingin mengajakku olahraga pagi. Tapi dasar keras kepala sudah berkali-kali aku menolak ajakannya tapi dia masih saja mengganggu tiap pagi.

Aku berjalan menuju pintu. Dan aku seperti mendengar orang sedang mengobrol di luar. Setelah memastikan suara siapa yang berbicara, aku langsung membuka pintu.

“Syikla ?!” Panggilku heran. Dia ternyata sedang mengobrol dengan Prim tepat di depan pintu kamarku.

Syikla adalah adikku, tepatnya adik tiriku. Ayahku menikah dengan maminya 7 tahun yang lalu. Dia sudah seperti adik kandungku sendiri. Karena jarak umur yang hanya setahun kami sering bertengkar memperebutkan sesuatu, tapi beberapa saat kemudian kami sudah akur. Dia sekarang juga kuliah disini tapi dia tinggal di rumah kontrakannya karena dia tidak ingin sering-sering bertemu denganku.

“Eh, Kak.” Tersenyum memelukku. “Dah bangun lo ? Tapi lo bau ah.” Candanya sambil menutup hidung dan menjauh dariku.
“Apaan sih lo ? Dasar !” Aku pura-pura ngambek. “O ya, ngapain lo kesini ? Pake bawa-bawa travel bag segala. Mo melancong kemana lo ?” Tanyaku setelah melihat bawaannya. Aku tertawa.
“Ye elah Kakaaak.” Syikla terlihat kesal. Prim yang dari tadi berdiri di antara kami hanya tersenyum. “Rencananya gua mo tinggal disini, boleh kan ? Sampe gua dapet kontrakan baru aja.”
“Ya boleh lah. Gila aja lo.” Kataku bersemangat. “Kan kita bisa sekamar berdua.” Sambungku sambil tersenyum. “Yuk masuk.”
“Kenapa ?! Mo ikut masuk juga ?” Tanyaku pada Prim yang mengikuti di belakang Syikla.
“Oh ga.” Bantahnya. “Aku cuma mo pegi maraton aja kok.” Setelah itu dia langsung pergi dan aku menutup pintu kamar.

“Oya, Kak.” Syikla langsung duduk di kasur yang masih berantakan karena aku baru bangun tidur. “Emang Papi tau kalo Kak Prim tinggal disini ? Soalnya waktu gua nelpon Papi tadi, Papi ga ngomong pa-pa tentang Kak Prim.”
“Ayah yang nyuruh kali.” Jawabku sambil masuk ke kamar mandi.
“Terus kenapa keliatannya lo benci gitu ama dia ?” Tanya Syikla dari luar sementara aku sudah siap mau mandi.
“Gua ga benci ama dia.” Teriakku dari kamar mandi. “Cuma ada satu alasan yang bikin gua ga suka aja ma dia.” Lanjutku lagi.

***

Tiga minggu sudah Prim tinggal bersama kami. Syikla sebenarnya sudah dapat kontrakan baru tapi aku tidak mengizinkan dia pindah. Malahan sebenarnya aku ingin Prim yang pergi dari rumah secepatnya. Aku tidak ingin lama-lama satu atap dengan Prim.

“Gua pegi dulu.” Pamitku pada orang yang ada di rumah ketika aku sudah sampai di pintu untuk berangkat kuliah.

“Yuk naik !” Ajak Prim dengan tersenyum menyuruhku naik di atas motor gedenya yang baru saja dibersihkannya.

Kontan saja aku terkejut karena aku tidak tahu kalau dia sudah di luar menungguku. Aku sering menolak diantar olehnya, tapi karena memang dasar keras kepala dia tidak pernah jera untuk menawarkan diri mengantarku ke kampus.
“Ayo.” Ajaknya lagi, kali ini dia sudah naik ke motornya.
“Ga pegi kerja ?” Tanyaku yang masih tidak pindah dari depan pintu. Sebenarnya aku sama sekali tidak tahu apa pekerjaannya dan aku tidak pernah ingin menanyakan padanya.
“Sekalian. Ayo cepat naik.” Jawabnya enteng.

Di jalan kami berpas-pasan dengan motor polisi. Aku melihat Prim menyapa polisi itu. ‘Polisi brengsek ! Pagi-pagi udah keliaran di jalan.’ Kutuk ku dalam hati.
“Bisa pelanin dikit ga jalannya ?” Teriakku pada Prim.
“Kenapa ?”
“Udah pelanin aja, napa ?” Sewotku.

Akhirnya aku sampai juga di kampus. Untungnya aku belum terlambat. Aku menyuruh Prim berhenti di depan Hati dan Lian yang keliatannya sudah menungguku dari tadi.
“Boleh tanya sesuatu ga ?” Tanya Prim ketika aku hendak memberikan helm padanya.
“Apa ?” Dengan ekspresi cemberut.
“Tadi itu kenapa ?”
“Kenapa apanya ?” Kali ini aku agak sewot. Ketika aku melihat ke arah Hati dan Lian, mereka tersenyum menyelidik memperhatikan kami.
“Waktu kita barengan jalan ama polisi, kenapa nyuruh Kakak melanin jalan motor ? Padahal kita ga melanggar apa-apa.”
“Oh..”
“Jadi kenapa ?” Tanyanya lagi.
“Dia benci ama polisi, Kak.” Sela Lian.
“Apa ? Kenapa ?” Terlihat ekspresi bingung dari wajah Prim.
“Udah ah.” Potongku. “Kita mo masuk kelas.” Kataku sambil mendorong Hati dan Lian menjauh dari tempat itu. “Thanks buat tumpangannya.” Aku mengucapkan itu tanpa menoleh padanya.

“Katanya benci ama Kak Prim.” Goda Hati padaku ketika kami di koridor menuju kelas.
“Iya nih.” Lian ikut nimbrung. “Tapi kok betah tiap hari dianter ama dia.” Tambah Lian lagi sambil menyikut lenganku dengan sikutnya.
“Udah deh. Emang kalian pikir gua seneng apa ?” Bantahku. “Lagian, tiap pagi napa pembahasannya itu-itu mulu sih ?” Lanjutku.
“Uh….Marah.” Seloroh mereka bersamaan.

“Tapi ngomong-ngomong Tito mana ?” Tanyaku ketika sampai di kelas dan melihat Tito tidak ada.
“Ga tau.” Jawab Lian sambil duduk di bangku di sebelahku.
“Telat dateng kali.” Timpal Hati.
“Jadi Tito apa Prim, hah ?” Selidik Lian sementara Hati hanya tersenyum menunggu jawabanku.

***
(bersambung)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

suka banget bca novel ini.
lnjutin lg dunk mbak..

Anonim mengatakan...

suka bgt bca novel ne
nama2nya unik
lnjutin lg y mbak