Polisi
(cinta di hidupku)
Tiga
Dua tahun
berlalu. Begitu banyak yang terjadi termasuk kejadian yang tak ingin kuingat
lagi dan akan kukubur dalam-dalam. Semua itu hanya ingin kusimpan sendiri tanpa
siapapun yang tahu.
Sekarang
aku sudah punya sahabat, yaitu Hati dan Lian. Dan aku tak bisa ingat sejak
kapan aku menjadi teman dekat Tito, panggilanku pada Fristo ‘sang katak’. Hati
dan Lianpun kini berteman dengan Tito. Kami berempat sering belajar bersama,
namun di antara semua Titolah yang sering tidak datang karena dia harus kerja
part-time. Dan kadang-kadang aku yang selalu mengerjakan tugas kuliah Tito.
Karena
tidak ada jadwal kuliah hari ini, aku hanya bermalas-malasan di sofa sambil
membaca komik Detektif Conan. Aku sangat menyukai komik ini, jadi aku
mengoleksi hampir semua serinya. Tapi ada beberapa seri yang tidak kumiliki dan
sangat susah untuk dicari. Beberapa di antara seri awal komik ini kutinggalkan
di kamarku di rumah kami.
Tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu. Aku beranjak dengan enggan untuk membuka pintu karena Mbak
Ina sedang memasak di dapur.
“Selamat
siang.” Seorang pemuda dengan tubuh atletis dan berkacamata hitam berdiri tepat
di depanku dengan senyum yang menawan.
‘Waw ! Keren banget ne orang.’ Teriakku dalam hati. Tapi senyumnya, sepertinya aku
pernah melihat sebelum ini. Aku memikirkan tempat-tempat dimana aku pernah
melihatnya sebelum ini tapi otakku buntu.
“Hai,
Dee. Selamat siang.” Sapanya lagi sambil melambaikan tangan ke wajahku. Aku
terkejut dan sedikit linglung ketika tersadar dari lamunanku.
“Oh ya,
Mas. Ada apa ya ?” Tanyaku setelah menguasai keadaan.
“Boleh saya masuk dulu ?”
“Boleh saya masuk dulu ?”
Aku
mempersilahkannya masuk hanya dengan menggunakan tanganku.
“Kita ketemu lagi sekarang.” Katanya setelah duduk di sofa. Aku tidak mengerti maksudnya dan langsung membereskan komik-komik yang berserakan di meja.
“Kita ketemu lagi sekarang.” Katanya setelah duduk di sofa. Aku tidak mengerti maksudnya dan langsung membereskan komik-komik yang berserakan di meja.
“Maaf ?”
Aku menoleh padanya. “Mas ini siapa ya ? Kok tau nama aku ?” Tanyaku karena
tadi ketika bertemu dia langsung menyebutkan namaku. Aku masih sibuk menyusun
komik di bawah meja.
“Hmm.”
Dia terlihat seperti berpikir “Kamu kenal Pak Idrus kan ?”
“Maksudnya
Om Idrus ?” Aku memastikan.
“Saya
ini…” Mengambil napas sejenak. “Kenalkan nama saya Prim.” Dia mengulurkan
tangan dan aku menyambutnya. “Dan maksud saya datang kesini mau nginap
sementara di rumah ini. Katanya ada kamar kosong disini.” Dia mengatakannya sambil tersenyum.
“A..a..a..apa
?!” Aku sangat kaget, lalu duduk di sofa di depannya. “Maksud Mas ini apa ya ?
Aku bener-bener ga ngerti.” Sambungku dengan nada tak percaya.
“Jangan
panggil mas dong. Nama aja cukup. Kalo ga panggil kakak aja. Saya belum tua
lho.” Dia tersenyum seperti sedang mempermainkanku. Sikapnya ini memberiku
alasan untuk membencinya. “Maksud saya tadi…”
Pembicaraannya
terpotong karena hp-ku yang dari tadi tergeletak di meja berdering. Ternyata
itu telepon dari Ayah. Ayah mengatakan kalau hari ini anaknya Om Idrus mau
datang dan menginap di rumah. Kebetulan tempat dia bekerja dekat dari rumah dan
sekalian dia akan menjagaku. Aku sempat memprotes ayah tentang kata ‘menjaga’
itu, tapi kata ayah intinya dia sudah berjanji dengan Om Idrus bahwa anaknya
bisa tinggal bersamaku. Benar-benar membuatku pusing.
“Baiklah.” Kataku menenangkan diri setelah menutup telpon.
Aku
melihat ke arahnya, dia tersenyum menungguku menyelesaikan kalimatku.
“Mbak Ina
!” Panggilku dengan suara keras karena sepertinya dia sudah siap memasak. Mbak
Inapun langsung datang. “Tolong anterin Mas….eh….” Aku berpikir sebentar karena
aku lupa namanya.
“Prim.” Katanya
menyelesaikan kalimatku.
“Mari, Mas.
Ikut saya.” Ajak mbak Ina.
“Belum
tua apaan ?! Udah kaya bapak-bapak, juga.” Bisikku pada diri sendiri. Karena
kalau di lihat dari mukanya dia seperti sudah berumur sekitar 26 tahun.
***
Pagi-pagi
sekali sudah ada yang mengetuk pintu. Pasti Prim yang ingin mengajakku olahraga
pagi. Tapi dasar keras kepala sudah berkali-kali aku menolak ajakannya tapi dia
masih saja mengganggu tiap pagi.
Aku berjalan
menuju pintu. Dan aku seperti mendengar orang sedang mengobrol di luar. Setelah
memastikan suara siapa yang berbicara, aku langsung membuka pintu.
“Syikla
?!” Panggilku heran. Dia ternyata sedang mengobrol dengan Prim tepat di depan
pintu kamarku.
Syikla
adalah adikku, tepatnya adik tiriku. Ayahku menikah dengan maminya 7 tahun yang
lalu. Dia sudah seperti adik kandungku sendiri. Karena jarak umur yang hanya
setahun kami sering bertengkar memperebutkan sesuatu, tapi beberapa saat
kemudian kami sudah akur. Dia sekarang juga kuliah disini tapi dia tinggal di
rumah kontrakannya karena dia tidak ingin sering-sering bertemu denganku.
“Eh, Kak.”
Tersenyum memelukku. “Dah bangun lo ? Tapi lo bau ah.” Candanya sambil menutup
hidung dan menjauh dariku.
“Apaan sih lo ? Dasar !” Aku pura-pura ngambek. “O ya, ngapain lo kesini ? Pake bawa-bawa travel bag segala. Mo melancong kemana lo ?” Tanyaku setelah melihat bawaannya. Aku tertawa.
“Apaan sih lo ? Dasar !” Aku pura-pura ngambek. “O ya, ngapain lo kesini ? Pake bawa-bawa travel bag segala. Mo melancong kemana lo ?” Tanyaku setelah melihat bawaannya. Aku tertawa.
“Ye elah Kakaaak.”
Syikla terlihat kesal. Prim yang dari tadi berdiri di antara kami hanya
tersenyum. “Rencananya gua mo tinggal disini, boleh kan ? Sampe gua dapet
kontrakan baru aja.”
“Ya boleh lah. Gila aja lo.” Kataku bersemangat. “Kan kita bisa sekamar berdua.” Sambungku sambil tersenyum. “Yuk masuk.”
“Kenapa ?! Mo ikut masuk juga ?” Tanyaku pada Prim yang mengikuti di belakang Syikla.
“Ya boleh lah. Gila aja lo.” Kataku bersemangat. “Kan kita bisa sekamar berdua.” Sambungku sambil tersenyum. “Yuk masuk.”
“Kenapa ?! Mo ikut masuk juga ?” Tanyaku pada Prim yang mengikuti di belakang Syikla.
“Oh ga.”
Bantahnya. “Aku cuma mo pegi maraton aja kok.” Setelah itu dia langsung pergi
dan aku menutup pintu kamar.
“Oya, Kak.”
Syikla langsung duduk di kasur yang masih berantakan karena aku baru bangun
tidur. “Emang Papi tau kalo Kak Prim tinggal disini ? Soalnya waktu gua nelpon Papi
tadi, Papi ga ngomong pa-pa tentang Kak Prim.”
“Ayah yang nyuruh kali.” Jawabku sambil masuk ke kamar mandi.
“Terus kenapa keliatannya lo benci gitu ama dia ?” Tanya Syikla dari luar sementara aku sudah siap mau mandi.
“Gua ga benci ama dia.” Teriakku dari kamar mandi. “Cuma ada satu alasan yang bikin gua ga suka aja ma dia.” Lanjutku lagi.
“Ayah yang nyuruh kali.” Jawabku sambil masuk ke kamar mandi.
“Terus kenapa keliatannya lo benci gitu ama dia ?” Tanya Syikla dari luar sementara aku sudah siap mau mandi.
“Gua ga benci ama dia.” Teriakku dari kamar mandi. “Cuma ada satu alasan yang bikin gua ga suka aja ma dia.” Lanjutku lagi.
***
Tiga
minggu sudah Prim tinggal bersama kami. Syikla sebenarnya sudah dapat kontrakan
baru tapi aku tidak mengizinkan dia pindah. Malahan sebenarnya aku ingin Prim
yang pergi dari rumah secepatnya. Aku tidak ingin lama-lama satu atap dengan
Prim.
“Gua pegi
dulu.” Pamitku pada orang yang ada di rumah ketika aku sudah sampai di pintu untuk berangkat kuliah.
“Yuk naik
!” Ajak Prim dengan tersenyum menyuruhku naik di atas motor gedenya yang baru
saja dibersihkannya.
Kontan
saja aku terkejut karena aku tidak tahu kalau dia sudah di luar menungguku. Aku
sering menolak diantar olehnya, tapi karena memang dasar keras kepala dia tidak
pernah jera untuk menawarkan diri mengantarku ke kampus.
“Ayo.”
Ajaknya lagi, kali ini dia sudah naik ke motornya.
“Ga pegi kerja ?” Tanyaku yang masih tidak pindah dari depan pintu. Sebenarnya aku sama sekali tidak tahu apa pekerjaannya dan aku tidak pernah ingin menanyakan padanya.
“Ga pegi kerja ?” Tanyaku yang masih tidak pindah dari depan pintu. Sebenarnya aku sama sekali tidak tahu apa pekerjaannya dan aku tidak pernah ingin menanyakan padanya.
“Sekalian.
Ayo cepat naik.” Jawabnya enteng.
Di jalan
kami berpas-pasan dengan motor polisi. Aku melihat Prim menyapa polisi itu. ‘Polisi brengsek ! Pagi-pagi udah keliaran di jalan.’ Kutuk ku dalam hati.
“Bisa
pelanin dikit ga jalannya ?” Teriakku pada Prim.
“Kenapa
?”
“Udah
pelanin aja, napa ?” Sewotku.
Akhirnya
aku sampai juga di kampus. Untungnya aku belum terlambat. Aku menyuruh Prim
berhenti di depan Hati dan Lian yang keliatannya sudah menungguku dari tadi.
“Boleh
tanya sesuatu ga ?” Tanya Prim ketika aku hendak memberikan helm padanya.
“Apa ?”
Dengan ekspresi cemberut.
“Tadi itu
kenapa ?”
“Kenapa
apanya ?” Kali ini aku agak sewot. Ketika aku melihat ke arah Hati dan Lian,
mereka tersenyum menyelidik memperhatikan kami.
“Waktu
kita barengan jalan ama polisi, kenapa nyuruh Kakak melanin jalan motor ? Padahal
kita ga melanggar apa-apa.”
“Oh..”
“Jadi
kenapa ?” Tanyanya lagi.
“Dia
benci ama polisi, Kak.” Sela Lian.
“Apa ?
Kenapa ?” Terlihat ekspresi bingung dari wajah Prim.
“Udah
ah.” Potongku. “Kita mo masuk kelas.” Kataku sambil mendorong Hati dan Lian
menjauh dari tempat itu. “Thanks buat tumpangannya.” Aku mengucapkan itu tanpa
menoleh padanya.
“Katanya
benci ama Kak Prim.” Goda Hati padaku ketika kami di koridor menuju kelas.
“Iya
nih.” Lian ikut nimbrung. “Tapi kok betah tiap hari dianter ama dia.” Tambah
Lian lagi sambil menyikut lenganku dengan sikutnya.
“Udah
deh. Emang kalian pikir gua seneng apa ?” Bantahku. “Lagian, tiap pagi napa pembahasannya
itu-itu mulu sih ?” Lanjutku.
“Uh….Marah.”
Seloroh mereka bersamaan.
“Tapi
ngomong-ngomong Tito mana ?” Tanyaku ketika sampai di kelas dan melihat Tito
tidak ada.
“Ga tau.”
Jawab Lian sambil duduk di bangku di sebelahku.
“Telat
dateng kali.” Timpal Hati.
“Jadi
Tito apa Prim, hah ?” Selidik Lian sementara Hati hanya tersenyum menunggu
jawabanku.
***
(bersambung)
2 komentar:
suka banget bca novel ini.
lnjutin lg dunk mbak..
suka bgt bca novel ne
nama2nya unik
lnjutin lg y mbak
Posting Komentar