Polisi
(cinta di hidupku)
lima
Ketika sedang
mengikuti perkuliahan terakhir untuk hari ini, Ketua Jurusan datang ke kelas
kami dan mengatakan akan diadakan penggeledahan karena diduga ada pengedar
narkoba di kampus kami. Dan sungguh di luar dugaanku, masuklah tiga atau empat
orang polisi ke dalam kelas. Aku tidak sempat menghitung jumlah mereka karena
aku sudah begitu terkejut. Aku secara spontan mengambil tas dan buru-buru
keluar kelas.
“Permisi, Pak.”
Kataku pada Ketua Jurusan tanpa menoleh pada orangnya.
“Kamu mau
kemana?” Tanya Ketua Jurusan tapi aku sudah sampai di luar pintu.
“Dee!” Seru
teman-temanku.
Aku tidak ingin
kembali ke kelas dan bertemu dengan para polisi itu.
Setelah sampai
di luar gedung kampus, aku bergegas berlari dan aku merasa seperti ada yang
mengejarku dari belakang.
“Dee.” Panggil
orang itu.
Aku tidak
menoleh. Aku terus saja berlari sampai ke jalan raya.
“Dee, kamu
kenapa?” Tanya orang itu lagi dan kali ini dia menarik tanganku. Aku terpaksa
menoleh. Ternyata orang itu Prim.
“Gua benci
polisi! Lo tau?!” Teriakku pada Prim
“Ya terus
kenapa?” Katanya tak kalah berteriak.
“Pokoknya gua
benci dan kenapa tiba-tiba hari ini banyak polisi di dalam kelas gua?” Aku
benar-benar kesal dan tanpa aku sadari tanganku memukul lengan Prim.
“Oke. Kamu
tunggu disini dulu Kakak ambil motor di
parkiran.”
Entah kenapa, aku
menurut saja apa yang dikatakan Prim dan menunggunya di tempat aku berdiri dari
tadi.
***
“Kenapa kita
kesini?” Tanyaku sambil membuka helm setelah kami berhenti di tepi sungai yang
airnya sangat dangkal dan deras. Airnya juga jernih karena kelihatan batu-batu
kecil di dasar sungai.
“Biar kamu ga
BT lagi.” Jawab Prim setelah kami sama-sama memandang ke arah sungai.
Aku menoleh
kepada Prim karena tidak menyangka dia masih memikirkan aku setelah aku
berteriak padanya tadi.
Aku duduk di
pinggir sungai diikuti Prim
“Thanks masih mau mikirin aku.” Kataku
sambil menunduk karena sebenarnya aku malu selalu jutek padanya.
“Aku?!” Prim
tertawa mendengar aku mengatakan diriku dengan sebutan ‘aku’ karena sebelumnya
aku selalu menyebut diriku ‘gua’. “Sejak kapan?”
“Udah deh.
Jangan ngehina gitu, tar aku tarik ge thanks
yang udah aku ucapin tadi.” Ucapku pura-pura tersinggung.
“Ya ya. Oke.
Sama-sama.” Kata Prim sambil menahan tawanya.
“Kok tadi bisa
datang ke kampus? Bukannya biasanya pulang kerja jam 5 sore?”
“Oh, Kakak tadi
izin pulang cepat karena agak ga enak badan. Karena Kakak kebetulan lewat depan
kampus kalian sekalian aja Kakak tunggu kamu biar pulang bareng.” Terang Prim
sementara tangannya sibuk melempar batu ke sungai.
“Ga jera aku
tolak ya.” Selidikku.
“Biasa aja.”
Jawabnya enteng dan masih melempar batu seolah-olah dia tidak mendengarku
bicara. “Tapi Kakak ga tau bakal ketemu kamu di keadaan kaya gitu.” Kali ini dia
tidak melempar batu lagi melainkan memalingkan wajahnya ke arahku. Menyadari
hal itu, aku langsung memandang ke sungai.
“Maaf udah
neriakin Kakak tadi.”
Terdengar suara
napas Prim yang keluar dari hidung. Aku tau dia sedang berusaha menahan tawanya.
“Ga pa-pa. kamu
khan emang benci ama Kakak.” Dia memainkan jarinya pada pasir.
“Sebenarnya aku
ga benci Kakak kok.” Akuku sambil menolehkan wajahku padanya. Dia kaget dan
tatapannya seperti menginginkan penjelasan dariku. “Ya, aku ga benci Kakak.”
“Tapi kalo Kakak
liat kamu ga pernah seneng ngeliat Kakak deket kamu.”
“Aku ga benci Kakak.
Udah itu aja.”
“Bisa kamu
jelasin maksud kamu apa?”
“Intinya aku ga
benci Kakak.”
“Emang susah ya
ngorek informasi dari kamu.”
Aku tersenyum
sambil melemparkan batu kecil yang baru aku pungut di pasir ke arah sungai.
***
Setelah makan
malam Prim tiba-tiba menerobos masuk kamar ketika aku sedang mengerjakan
laporan ditemani Syikla.
“Ada apa?”
Tanyaku terkejut.
“Iya, kenapa,
Kak?” Tanya Syikla juga.
“Kakak mo
bilang kalo malam ne Kakak ada urusan mendadak, jadi kemungkinan Kakak ga
balik.”
“O, ya udah.
Hati-hati ya.” Kataku sambil tersenyum pada Prim.
“Oke. Kakak pegi
dulu ya, Dee, Kla.” Sambil bergantian menoleh pada kami berdua.
“Dah baekan ya
kalian bedua?” Goda Syikla setelah Prim meninggalkan kamar.
“Ih, paan sih
lo?” Aku tidak mau menjawabperkataan Syikla. “ Gua mo ngerjain laporan ne.”
Lanjutku.
“Ayo jujur aja
deh.”
“Jujur?!” Aku
mengalihkan perhatian dari laporan ke Syikla yang sedang sibuk dengan boneka di
tangannya. Syikla hanya mengangguk. “Gua khan ga pernah musuhan ama Prim.”
“Trus
kemaren-kemaren tu namanya apa?”
“Lo tau khan
gua bisa benci sama seseorang gara-gara pertemuan pertama yang ga baek?”
Tanyaku tanpa meminta jawaban dari Syikla. “Dan gua juga selalu bilang ‘beri gua
satu alasan buat ngebenci lo.’ Dan Prim ngebuat alasan itu.” Terangku panjang
lebar.
“Trus apa
hubungannnya dengan kak Prim?”
“Dia waktu pertama
kali kesini blagu banget makanya gua ga suka ama dia.”
***
Prim kembali ke
rumah keesokan harinya jam 5 sore ketika aku sedang membaca komik di sofa
sambil tiduran.
“Eh, udah
pulang, Kak.” Kataku sambil duduk dan menutup komikku.
“Baca komik
lagi?” Tanya Prim setelah duduk di sofa di sampingku.
“Biasa.”
HP-ku yang dari
tadi di meja menderingkan Rainism
milik Rain menandakan bahwa salah satu TIBOK sedang menelponku. Ternyata itu
dari Tito.
“What’s up, Bro?”
“Gua mo bilang
sesuatu ma lo.” Jawab Tito di seberang sana.
“Apaan?”
Tanyaku dingin.
“Ya, ampun gitu
banget ngomongnya.”
“Iya, ada apa, Tuan
Fristo?” Tanyaku lagi kali ini dengan nada yang kubuat semanis mungkin.
“Mo denger ga
ne? Kalo ga gua matiin aja ne.”
“Iya iya.”
Prim kembali duduk
di sampingku setelah sebelumnya mengambil air dingin di kulkas.
“Gua… Gua…”
“Gua paan?! Gua
Hantu?!” Tanyaku tak sabar. Melihatku begitu Prim hanya tertawa pelan. Aku
menoleh padanya dan kemudian fokus lagi pada telpon Tito.
“Sabar napa.
Gua lagi mikir kata yang tepat ne.” Bentak Tito.
“Makanya cepet
donk.” Aku tak kalah membentaknya.
“Gua… Gua…”
Aku menunggu
kata-kata Tito keluar dari mulutnya.
“Gua… Gua udah
jadian sama Okta, junior kita yang pernah gua ceritain dulu ke lo.”
“Oooo.” Kataku
lemas. Aku benar-benar tidak tahu kata-kata apa yang harus aku ucapkan.
“Itu doang
ekspresi lo?” Tanya Tito heran
“Hehe. Selamat
ya.” Aku memaksakan untuk tersenyum.
“Makasih ya.”
“Tibok yang
laen dah lo kasih tau blom?”
“You first.”
“Hm. Ya udah.”
Kataku masih lemas mendengar berita dari Tito. Aku menutup telpon.
“Kenapa?” Tanya
Prim yang dari tadi diam saja mendengarku menelpon.
“Tito dah
jadian.” Jawabku singkat.
“Kamu pasti
kecewa kan?” Tebak Prim.
“Ga.” Jawabku
singkat. Aku kembali membaca komik untuk mengelak dari pertanyaan Prim.
“Jangan boong, ekspresi
kamu kebaca pas kamu nelpon tadi. Kamu suka kan ama Tito?” Selidik Prim.
“Siapa bilang?”
“Jujur aja
deh.”
Lama aku
terdiam mencerna perkataan Prim.
“Mungkin kakak
bner.” Jawabku kemudian. Prim menyimak. “Tapi mungkin udah takdir cintaku selalu
salah alamat.”
“Maksudnya ?!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar