Salam

Assalamu'alaikum
Terima kasih sudah berkunjung ke blog yang bisa dibilang jauuuuh dari kata sederhana ini.
Jangan kapok untuk sering-sering berkunjung.

5.12.2014

Polisi [Part 5] by Rainy Cristefo Valenta



Polisi

(cinta di hidupku)










lima

Ketika sedang mengikuti perkuliahan terakhir untuk hari ini, Ketua Jurusan datang ke kelas kami dan mengatakan akan diadakan penggeledahan karena diduga ada pengedar narkoba di kampus kami. Dan sungguh di luar dugaanku, masuklah tiga atau empat orang polisi ke dalam kelas. Aku tidak sempat menghitung jumlah mereka karena aku sudah begitu terkejut. Aku secara spontan mengambil tas dan buru-buru keluar kelas.

“Permisi, Pak.” Kataku pada Ketua Jurusan tanpa menoleh pada orangnya.
“Kamu mau kemana?” Tanya Ketua Jurusan tapi aku sudah sampai di luar pintu.
“Dee!” Seru teman-temanku.

Aku tidak ingin kembali ke kelas dan bertemu dengan para polisi itu.

Setelah sampai di luar gedung kampus, aku bergegas berlari dan aku merasa seperti ada yang mengejarku dari belakang.
“Dee.” Panggil orang itu.
Aku tidak menoleh. Aku terus saja berlari sampai ke jalan raya.
“Dee, kamu kenapa?” Tanya orang itu lagi dan kali ini dia menarik tanganku. Aku terpaksa menoleh. Ternyata orang itu Prim.
“Gua benci polisi! Lo tau?!” Teriakku pada Prim
“Ya terus kenapa?” Katanya tak kalah berteriak.
“Pokoknya gua benci dan kenapa tiba-tiba hari ini banyak polisi di dalam kelas gua?” Aku benar-benar kesal dan tanpa aku sadari tanganku memukul lengan Prim.
“Oke. Kamu tunggu disini dulu Kakak  ambil motor di parkiran.”
Entah kenapa, aku menurut saja apa yang dikatakan Prim dan menunggunya di tempat aku berdiri dari tadi.

***

“Kenapa kita kesini?” Tanyaku sambil membuka helm setelah kami berhenti di tepi sungai yang airnya sangat dangkal dan deras. Airnya juga jernih karena kelihatan batu-batu kecil di dasar sungai.
“Biar kamu ga BT lagi.” Jawab Prim setelah kami sama-sama memandang ke arah sungai.
Aku menoleh kepada Prim karena tidak menyangka dia masih memikirkan aku setelah aku berteriak padanya tadi.
Aku duduk di pinggir sungai diikuti Prim
Thanks masih mau mikirin aku.” Kataku sambil menunduk karena sebenarnya aku malu selalu jutek padanya.
“Aku?!” Prim tertawa mendengar aku mengatakan diriku dengan sebutan ‘aku’ karena sebelumnya aku selalu menyebut diriku ‘gua’. “Sejak kapan?”
“Udah deh. Jangan ngehina gitu, tar aku tarik ge thanks yang udah aku ucapin tadi.” Ucapku pura-pura tersinggung.
“Ya ya. Oke. Sama-sama.” Kata Prim sambil menahan tawanya.
“Kok tadi bisa datang ke kampus? Bukannya biasanya pulang kerja jam 5 sore?”
“Oh, Kakak tadi izin pulang cepat karena agak ga enak badan. Karena Kakak kebetulan lewat depan kampus kalian sekalian aja Kakak tunggu kamu biar pulang bareng.” Terang Prim sementara tangannya sibuk melempar batu ke sungai.
“Ga jera aku tolak ya.” Selidikku.
“Biasa aja.” Jawabnya enteng dan masih melempar batu seolah-olah dia tidak mendengarku bicara. “Tapi Kakak ga tau bakal ketemu kamu di keadaan kaya gitu.” Kali ini dia tidak melempar batu lagi melainkan memalingkan wajahnya ke arahku. Menyadari hal itu, aku langsung memandang ke sungai.
“Maaf udah neriakin Kakak tadi.”
Terdengar suara napas Prim yang keluar dari hidung. Aku tau dia sedang berusaha menahan tawanya.
“Ga pa-pa. kamu khan emang benci ama Kakak.” Dia memainkan jarinya pada pasir.
“Sebenarnya aku ga benci Kakak kok.” Akuku sambil menolehkan wajahku padanya. Dia kaget dan tatapannya seperti menginginkan penjelasan dariku. “Ya, aku ga benci Kakak.”
“Tapi kalo Kakak liat kamu ga pernah seneng ngeliat Kakak deket kamu.”
“Aku ga benci Kakak. Udah itu aja.”
“Bisa kamu jelasin maksud kamu apa?”
“Intinya aku ga benci Kakak.”
“Emang susah ya ngorek informasi dari kamu.”
Aku tersenyum sambil melemparkan batu kecil yang baru aku pungut di pasir ke arah sungai.

***

Setelah makan malam Prim tiba-tiba menerobos masuk kamar ketika aku sedang mengerjakan laporan ditemani Syikla.
“Ada apa?” Tanyaku terkejut.
“Iya, kenapa, Kak?” Tanya Syikla juga.
“Kakak mo bilang kalo malam ne Kakak ada urusan mendadak, jadi kemungkinan Kakak ga balik.”
“O, ya udah. Hati-hati ya.” Kataku sambil tersenyum pada Prim.
“Oke. Kakak pegi dulu ya, Dee, Kla.” Sambil bergantian menoleh pada kami berdua.

“Dah baekan ya kalian bedua?” Goda Syikla setelah Prim meninggalkan kamar.
“Ih, paan sih lo?” Aku tidak mau menjawabperkataan Syikla. “ Gua mo ngerjain laporan ne.” Lanjutku.
“Ayo jujur aja deh.”
“Jujur?!” Aku mengalihkan perhatian dari laporan ke Syikla yang sedang sibuk dengan boneka di tangannya. Syikla hanya mengangguk. “Gua khan ga pernah musuhan ama Prim.”
“Trus kemaren-kemaren tu namanya apa?”
“Lo tau khan gua bisa benci sama seseorang gara-gara pertemuan pertama yang ga baek?” Tanyaku tanpa meminta jawaban dari Syikla. “Dan gua juga selalu bilang ‘beri gua satu alasan buat ngebenci lo.’ Dan Prim ngebuat alasan itu.” Terangku panjang lebar.
“Trus apa hubungannnya dengan kak Prim?”
“Dia waktu pertama kali kesini blagu banget makanya gua ga suka ama dia.”

***

Prim kembali ke rumah keesokan harinya jam 5 sore ketika aku sedang membaca komik di sofa sambil tiduran.
“Eh, udah pulang, Kak.” Kataku sambil duduk dan menutup komikku.
“Baca komik lagi?” Tanya Prim setelah duduk di sofa di sampingku.
“Biasa.”
HP-ku yang dari tadi di meja menderingkan Rainism milik Rain menandakan bahwa salah satu TIBOK sedang menelponku. Ternyata itu dari Tito.
What’s up, Bro?”
“Gua mo bilang sesuatu ma lo.” Jawab Tito di seberang sana.
“Apaan?” Tanyaku dingin.
“Ya, ampun gitu banget ngomongnya.”
“Iya, ada apa, Tuan Fristo?” Tanyaku lagi kali ini dengan nada yang kubuat semanis mungkin.
“Mo denger ga ne? Kalo ga gua matiin aja ne.”
“Iya iya.”
Prim kembali duduk di sampingku setelah sebelumnya mengambil air dingin di kulkas.
“Gua… Gua…”
“Gua paan?! Gua Hantu?!” Tanyaku tak sabar. Melihatku begitu Prim hanya tertawa pelan. Aku menoleh padanya dan kemudian fokus lagi pada telpon Tito.
“Sabar napa. Gua lagi mikir kata yang tepat ne.” Bentak Tito.
“Makanya cepet donk.” Aku tak kalah membentaknya.
“Gua… Gua…”
Aku menunggu kata-kata Tito keluar dari mulutnya.
“Gua… Gua udah jadian sama Okta, junior kita yang pernah gua ceritain dulu ke lo.”
“Oooo.” Kataku lemas. Aku benar-benar tidak tahu kata-kata apa yang harus aku ucapkan.
“Itu doang ekspresi lo?” Tanya Tito heran
“Hehe. Selamat ya.” Aku memaksakan untuk tersenyum.
“Makasih ya.”
“Tibok yang laen dah lo kasih tau blom?”
You first.”
“Hm. Ya udah.” Kataku masih lemas mendengar berita dari Tito. Aku menutup telpon.

“Kenapa?” Tanya Prim yang dari tadi diam saja mendengarku menelpon.
“Tito dah jadian.” Jawabku singkat.
“Kamu pasti kecewa kan?” Tebak Prim.
“Ga.” Jawabku singkat. Aku kembali membaca komik untuk mengelak dari pertanyaan Prim.
“Jangan boong, ekspresi kamu kebaca pas kamu nelpon tadi. Kamu suka kan ama Tito?” Selidik Prim.
“Siapa bilang?”
“Jujur aja deh.”

Lama aku terdiam mencerna perkataan Prim.
“Mungkin kakak bner.” Jawabku kemudian. Prim menyimak. “Tapi mungkin udah takdir cintaku selalu salah alamat.”
“Maksudnya ?!”

***

Tidak ada komentar: